Oleh: Alfian Tanjung
![]() |
Foto: Peresmian Markaz Dakwah dan Jihad Majelis Mujahidin |
Ahok, alias dari Basuki Tjahaya Purnama
adalah seorang anak keturunan yang dibesarkan ditanah Melayu. Menjadi Gubernur
bukan karena pilihan masyarakat Jakarta yang 85,53 % adalah Muslim. Pasca
pilkada DKI pertanggal 20 September 2012, dimenangkan oleh pasangan
Jokowi-Ahok, Duet Duo Cino yang masih malu-malu menegaskan misi Po An tui-nya,
diwujudkn oleh Tjahyo Kumolo dengan meresmikan Patung Pengkhianat laskar
bentukan Belanda tersebut, dalam rangka membela misi imprealisme, yang bertugas
untuk mengintimidasi kaum pribumi.
"Kehebtan Ahok" telah menjadi
mitos, dongeng dan manisan gula-gula yang ditengahnya terdapat rasa pahit yang
mematikan yakni "Penindasan Konsitusional", contoh yang sangat kasat
telinga dan mata: Sejak bulan maret 2016 warga Jakarta membayar Pajak dengan 0
rupiah, hal ini akan menjadi beban berupa bom waktu, baik ketika dia kembali
menjadi Gubernur atau bagi penggantinya, menjadi bom waktu. Karena setelah
pelantikan Gubernur periode 2017-2022 masyarakat harus membayar pajak 10x lipat
dari jumlah nominal yang dinaikkan secara berkala.
CUCI OTAK yang dilakukan oleh media
cetak, elektronik dan online yang merupakan kawan atau gerombolan Po An Tui,
Ahok dan gerombolannya, membuat sebagian kecil masyarakat Jakarta terpengaruh,
mereka menjadi Ahok Mania atau Teman Ahok/Teman Mabok.
BERSIHKAN HATI & OTAK dengan kalimah
Tauhid, bisa dipastikan akan menggerus mitos hebatnya, beraninya, suksesnya
Ahok. karena semua ini permainan pencitraan dan strategi Tsun Zu. Ahok, bukan
milik kita, kita juga tidak ada dalam
pikiran ahok, dia pengabdi Investor, bukan pengabdi masyarakat.
(13/3/2016)
No comments:
Post a Comment